[left-side]
Yuk kita mengingat kembali masa-masa menjelang raportan pada waktu sekolah dasar.
Apa yang paling Anda nantikan saat itu?
Rangking?
Ya, dengan rangking kita bisa mengetahui sejauh mana kemampuan kita dibandingkan teman yang lain. Dengan rangking pula kita bisa terus memacu semangat belajar. Namun sayangnya, bagi anak yang pesimis apalagi yang prestasinya buruk, dengan rangking,semakin menjadikan mereka seperti dikucilkan dari dunia ini. Dianggap rendah, bodoh, dan tersingkirkan dari kelompok, Semoga bukan Anda dan bukan keluarga Anda.
Jika Anda sebagai guru, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri, mengapa siswa yang prestasinya paling rendah di kelas selalu dan hampir selalu mendapat prestasi yang rendah di jenjang berikutnya? Pertanyaan di atas sebanarnya adalah pertanyaan besar saya pada diri sendiri.
Jawaban sederhananya adalah hipnosis. Ya, hipnosis. Tahukah Anda bahwa melalui pelabelan bahwa aku adalah orang yang bodoh (dalam hal ini melalui rangking terakhir) maka secara tidak langsung kita ikut andil dalam masa depan mereka. Ya, kita telah menghipnosis orang-orang di sekeliling mereka untuk turut membantu mengatakan kepada mereka bahwa kamu adalah orang bodoh. Percayalah, bahkan orang terdekat yaitu orang tua anak juga ikut terhipnosis dan menyadari bahwa anaknya adalah siswa bodoh.
Hmm.. mungkin sangat jarang pemikiran kita sejauh itu.
Mungkin inilah nilai raport siswa tidak tercantumkan peringkat atau rangking siswa.
Jujur dalam hati, sebagai orang tua saya jauh lebih suka sistem raport kurikulum 2013. Disana saya bisa lebih jauh mengenali apa yang dikuasai anak saya dan apa yang belum sesuai tahap perkembangannya.
Lalu apakah kita masih perlu merangking siswa lagi?
Menurut pendapat saya, tentu saja perlu, namun sebaiknya rangking tidak digembar-gemborkan secara massal mengingat dampak negatif yang mungkin timbul bagi psikis anak.